Selasa, 18 Januari 2011

Memahami perilaku, Mendekati Jiwa

        "Aduh.... susah, dia tidak bisa dipercaya" " Sulit ditebak, apa maunya?". Begitulah sebagian ungkapan orang ketika mencoba memahami orang lain. Memang yang mau dipahami setiap orang, adalah jiwa orang lain, tetapi tentu sulit, karena yang tahu tentang jiwa orang adalah orang itu sendiri, dan tentu saja juga, Tuhannya.. Bahkan tak jarang,  orang tidak memahami secara baik jiwanya sendiri, sehingga memerlukan orang lain untuk curhat, atau konselor untuk konsultasi. Lalu, bagaimana caranya memahami jiwa orang lain? Jiwa itu abstrak, tak terjamah alat indera, lalu ? Ya... melalui perilakunya. Meskipun harus disadari, tidak semua perilaku merupakan gejala jiwa yang sebenarnya, misalnya yang terjadi pada orang munafik, lain dimulut lain di hati.
       Perilaku dapat diukur, dapat diobservasi, bisa diteliti melalui percobaan. Bagaimana mengukurnya ? Nah, itulah yang dikenal oleh masyarakat dengan istilah "psikotes" yairtu kegiatan pemeriksaan psikologi dengan menggunakan alat-alat tes atau sarana pengukuran yang sudah melalui penelitian mendalam. Dari hasil pengukuran psikologis ini diketahui kecerdasan intelektual orang, yang biasa dikenal dengan IQ (Inteligence Qoutien), tipologi kepribadian, misalanya ada yang disebut introvert (pendiam), ekstravert (ceria), dan lain sebagainya. Pokoknya banyak hal yang "tersimpan" dalam diri seseorang dicoba dibuka melalui psikotes, sehingga terbaca bagaimana: bakat, minat, semangat kerja, ketekunan, kecenderungan kejujurannya, motivasi, keuletan/ketekunan dan lain sebagainya.
       Apakah bisa perilaku dikenali tanpa melalui peralatan tes? Tentu bisa, cuma memerlukan ketajaman observasi, kedalaman pengetahuan tentang berbagai indikasi perilaku dan maknanya, dan.... sangat ditentukan oleh jam terbang dalam pengenalan terhadap perilaku. Artinya semakin sering pengenalannya terhadap berbagai perilaku, maka semakin mudah ia mengenali dan memahami perilaku orang lain. Dan diharapkan semakin paham tentang perilaku seseorang, maka semakin dekat pula jiwanya terhadap orang yang bersangkutan. Dari sinilah sumber tumbuhnya saling pengertian, saling toleransi, saling berempati, berbagi rasa, merajut hubungan jiwa.
       Berkaca dari berbagai peristiwa kehidupan, baik dalam keluarga, tetangga, di sekolah, masyarakat luas, dan sebagainya, yang intinya saling bertengkar, caci maki, dendam, membenci, bermusuhan, bercerai,  maka sumbernya dan kuncinya cuma satu yaitu pemahaman perilaku. Bila orang mau sabar belajar memahami perilaku orang, yang berarti juga memahami "isi" jiwa orang itu, maka rasanya tak perlu lagi ada kemarahan, kebencian, yang ada harusnya saling mencinta, memaafkan, dan jalinan kasih tanpa batas.
      Bisakah dunia ini semakin damai ? Ya, belajarlah memahami perilaku orang !.

psikologi-ku: Memahami anak, Menyuruh tanpa memaksa

psikologi-ku: Memahami anak, Menyuruh tanpa memaksa: "' Ah mana mungkin, disuruh dengan paksa saja, tidak mau belajar, apalagi kalau tanpa dipaksa, mana mau ia bela..."

psikologi-ku: Antara Fakta dan Dusta, ada Realita

psikologi-ku: Antara Fakta dan Dusta, ada Realita: " 'Seminar paling heboh tahun ini, membuka habis rahasia menjadi kaya'. dem..."

Senin, 17 Januari 2011

Selasa, 11 Januari 2011

Antara Fakta dan Dusta, ada Realita

            "Seminar paling heboh tahun ini, membuka habis rahasia menjadi kaya". demikian bunyi sebuah iklan tentang suatu seminar di sebuah hotel berbintang. Malam itu, aku menyaksikan, ruangan seminar penuh, tua muda, laki-wanita, sendirian atau berpasangan, semua serius mendengarkan "sang tokoh" bercerita tentang "diri"nya, bagaimana bisa kaya dan sukses. Banyak tawa dan canda, jok-jok jenaka dilempar, disambut gelak ketawa, seakan mereka lupa, mereka bayar, mereka duduk, mereka tertawa, dan........mana hebohnya ? Mana rahasia menjadi kaya ?, Ah, akupun tak tahu, tapi inilah realita.
            Sebuah promosi memang menyajikan fakta yang ditawarkan, baik benda maupun jasa, tetapi sulit berkelit bagi si pembuat iklan atau si pemesan iklan, untuk selalu menyertakan dusta, minimal menyelipkan kata bermakna ganda, sehingga persepsi orang bisa digiring sesuai dengan kehendak si pembuat atau si pemesan iklan. Yah..... inilah sebagian dari realita dalam dunia bisnis, antara fakta dan dusta, terkadang sulit dipilah secara nyata. Tapi...... itu belum apa-apa, dalam renungan aku tertegun, ternyata hampir semua pojok kehidupan, perilaku dusta sudah merajalela, bahkan ada yang mengatakan, dusta sudah membudaya, benarkah ? Coba sebentar kita melihat fakta dalam dunia pendidikan, apakah di sana juga ada dusta ?
        Semua tahu dan menyadari bahwa pendidikan bertujuan ingin mengantarkan peserta didik, menjadi lebih terdidik, lebih cerdas dalam berpikir, lebih luas wawasan pengetahuan dan pengalaman, lebih dewasa dalam bersikap, lebih bertanggungjawab dalam bertindak, dan lebih-lebih yang lainnya. Pokoknya, pendidikan berusaha ingin merubah perilaku dan kemampuan nalar peserta didik menjadi lebih berkualitas. Apakah tujuan ini tercapai ? Ya..... sebagian, sekian percent, mungkin sudah atau akan menjadi realita, sedangkan sebagian yang lain, seberapa percent yang lain, masih perlu dipertanyakan realitanya. Mengapa ? Ah, rumit jawabannya, karena kompleks penyebabnya. Lalu bagaimana ? Mari kita lihat fakta-fakata yang sudah jadi realita.
        Sebagian realita bercerita, bahwa ketika peserta didik mengikuti ujian, persiapan mereka cukup instan,  cukup hanya belajar semalam, dengan SKS, sistem kebut semalam. Sebagian lagi. tak perlu susah belajar, santai saja, yang penting sudah siap bahan "contekan" dengan berbagai teknik canggih, atau bergeriliya mencari bocoran soal. Dan sebagian lainnya lagi, menyiapakan setoran "premi"  ke yang berwenang agar dapat jaminan nilai lulus. Bagaimana pula ketika mengerjakan tugas ?,membuat skripsi, tesis, desertasi ? perilaku fotocopy, copy paste, menjiplak, mendown load di internet,  ah......terlalu banyak fakta yang berselimut dusta.  Dan ini terjadi hampi r di semua jenjang pendidikan, dari tingkat paling dasar, hingga program Doktor. Bukankah sudah teersebar berita ada Doktor yang ternyata plagiator ?  Bisakah perilaku demikian ini membuahkan generasi cerdas dan penuh berkah untuk sesama ?  Tanya ini, tak perlu jawab,cukup realita yang berbicara. Apakah semua pesetrta didik  begitu ? Tentu saja tidak. Masih ada, entah masih banyak atau segelintir, peserta didik yang tetap tegak berdiri dalam kejujuran, ketekunan, dan penuh tanggungjawab terhadap perkembangan dirinya. 
        Lalu, bagaimana pula dengan para pendidiknya ? Apakah mereka semua pejuang kejujuran ? Apakah mereka contoh teladan ? Sebagian, entah besar atau kecil, mungkin ya, mereka pejuang pendidikan tulen. Sedangkan sebagian yang lain, mungkin sudah biasa bermain dengan aneka macam dusta. Ketika mereka berusaha untuk memenuhi persyaratan angka kredit untuk kenaikan pangkat, bagaimana mereka menghadir data ?  Adakah dusta di sana ? Ketika mereka memenuhi persyaratan sertifikasi, adakah fakta yang tersaji dalam dusta ? Pertanyaan ini juga tak usah dijawab, cukup lihat realita yang ada.
        Lalu, bagaimana mungkin kita berharap berkah dari Tuhan, kalau do'a yang kita panjatkan selalu berpadu dengan perilku dusta yang sangat dimurkaiNya. 
         Solusinya, ? Taubat......taubat nasuha, mengakui salah, dan berjanji tak akan berdusta lagi. Kita kibarkan bendera bertuliskan : " Mulai hari ini, tiada dusta lagi di antara kita ".

Minggu, 09 Januari 2011

Memahami anak, Menyuruh tanpa memaksa

"      Ah mana mungkin, disuruh dengan paksa saja, tidak mau belajar, apalagi kalau tanpa dipaksa, mana mau ia belajar sendiri", "Itukan hanya mudah dikatakan, kenyataannya sulit kita tanpa memaksa". Begitulah sebagian komentar para ibu ketika mengikuti ceramah tentang bagaimana menjadi ibu yang efektif. Apakah pendapat mereka itu benar ? Mungkin pembaca juga berpendapat demikian ? Sebelum kita menjawab persoalan ini, kita simak dulu, mengapa anak tidak boleh dipaksa ?
       Memaksa, memang cara termudah dan tercepat untuk mewujudkan perilaku yang dikehendaki pada orang yang kita inginkan berubah perilakunya, misalnya dari malas belajar menjadi rajin belajar, dari tidak mau mandi menjadi mau mandi, dari tidak mau makan, menjadi bersedia makan. Cara demikian biasanya dilakukan dengan dasar "conditioning", pembiasaan, dengan tujuan agar anak nantinya terbiasa berperilaku yang dikehendaki. Pandangan demikian bersumber dari aliran psikologi "behaviorisme" yang berkembangan pesat di Amerika ditokohi antara lain : Watson, Skinner, Thorndike, juga di Rusia, yang dipelopori oleh Ivan Pavlov. Teori mereka ini juga diterapkan dalam pembelajaran. Memang teori ini lebih berorientasi kepada hasil akhir, tanpa peduli bagimana proses mendapatkan hasil itu. Namun cepat atau lambat, model pemaksaan perilaku demi mencapai hasil akhir, seperti: asal dapat ranking, asal dapat nilai baik, menghasilkan generasi ingin serba "instan". Tak perlu belajar yang penting bisa menjawab soal dengan berbagai teknik "nyontek" yang canggih.Tak perlu paham, yang penting hafal, toh soalnya kaya gitu juga. Untuk apa berpikir, santai saja, yang penting bisa lulus, begitulah antara lain isi "belief system" yang terbentuk dalam diri anak, karena program "pemaksaan" tadi. Dan lebih jauh eksesnya terlihat pada perilaku kesehariannya, tak mau kerja tanpa ada  pamrihnya (nilai pemaksa perilaku, misalnya upah), sulit berkembang daya inisiatifnya, jauh dari kreatifitas, bahkan lebih parah, jiwanya seolah hilang, jiwa tanpa jiwa, dia hidup tapi berperilaku bagaikan robot, baru bergerak bila dipencet remote controlnya oleh orang lain. Coba amati perilaku sebagian  peserta didik sekarang ini, mereka baru mulai memagang buku pelajaran bila  "remote control" nya dipencet oleh gurunya, misalnya dalam bentuk diberi PR, diadakan ulangan/ujian,. Padahal mereka tahu bahwa kegiatan belajar itu untuk dirinya, untuk kepentingan masa depannya. Tetapi cuma sekedar tahu,  jauh dari menyadarinya. Semua itu,  sekali lagi, adalah buah dari pemaksaan. Bahkan saking kuatnya pemaksaan itu, tumbuh kesadaran lain yang berlawanan, misalnya anak dipaksa belajar, maka tumbuh kesadaran bahwa belajar itu untuk mama, pintar itu, ranking itu, untuk bapak. Bila pingin sesuatu dari bapak atau ibu, maka anak berkata, kalau tidak dibelikan itu, aku tidak mau sekolah lagi. Dengan ancaman itu, anak seperti berada di atas angin, karena ibu bapaknya menjadi panik, konsultasi kesana kemari, agar anaknya mau sekolah lagi. Coba kita renungkan bagaimana perilaku anak itu nanti kalau sudah terjun ke masyarakat ? Yah....... tak perlu lama-lama merenung, sekarang sudah terjadi di sekitar kita. Lalu bagaimana ?
       Kembali ke pokok permasalahan, menyuruh tanpa memaksa. Bisakah ? Ya, Insya Allah, bisa. Mulailah dari bekal pemahaman perilaku anak. Seribu anak memang akan akan memunculkan seribu karakteristik perilaku, sehingga sulit kita menyamaratakan pola asuhan dan perlakuan terhadap anak. Ada anak yang penurut, ada anak yang suka membantah. Ada anak yang gesit, ada pula yang lamban. Ada anak yang ceria, ada juga yang mudah ngambek, dan sebagainya. Lalu bagaimana sikap kita ? Mulailah dari langkah sederhana sebagai berikut.
1. Memberikan "makanan jiwa" anak dengan tiga "A", yairu: Afection, yaitu memberi anak kasih sayang yang tulus, tanpa mengharap balas. Jangan katakan, misalnya: Ibu sayang kamu, kalau kamu mau rajin belajar". Ini pertanda kasih sayang tak tulus. Ketahuilah, jiwa anak diberikan oleh Tuhan kepekaan menangkap suara batin ketidak tulusan ini. Lalu, Atention, yaitu  memberi perhatian yang tulus terhadap yang memang dibutuhkan oleh anak, terutama yang berkaitan dengan perkembangan fisik dan psikisnya. Misalnya alat permainan edukatif yang disenanginya. Inipun harus tulus, jangan dikaitkan dengan keinginan orang tua terhadap anaknya, misalnya: " ibu mau belikan mainan, bila kamu mau makan".Selanjutnya Afirmation/Apreciation, yaitu penghargaan terhadap anak juga secara tulus. Bila anak mau berinisiatif mencoba sesuatu, berilah dia kesempatan, jangan dilarang hanya karena pertimbangan anak belum besar.atau anak belum bisa. Biar dia mencoba, dan seberapapun  bisanya, berilah dia penghargaan berupa pujian, bukan penyesalan.seperti kata seorang bapak:" Kan sudah bapak bilang, kamu belum besar, jadi gagal kan ? Jangan katakan hal seperti itu.
2. Tampilkan perilaku kita yang terbaik dihadapan anak, yaitu perilaku ramah, lembut, sopan, tulus ikhlas, dan menjaga emosi kita agar tetap terkontrol, meskipun di depan anak yang sedang bandel. cerewet, nakal, dan perilaku menjengkelkan lain. Ini memang berat, tapi ini tugas kita dalam mengemban tanggungjawab terhadap "titipan" Tuhan.
3. Biasakanlah mengolah pola komunikasi dengan anak secara dialog, dua arah, bukan monolog, hindari komunikasi yang hanya satu arah dari orangtua ke anak berupa nasehat, anak disuruh mendengarkan saja, tak boleh menjawab atau membantah.
4. Buatlah setiap kata suruhan dalam bentuk kata tanya atau ajakan, misalnya : Nak,...kayanya sudah waktunya kita belajar, ayo, ibu temani ? Atau, Sayang.......bagaimana baiknya sekarang, kita stop sementara bermainnya, kita ganti dengan sama-sama baca cerita ?
5. Secara perlahan, sedikit demi sedikit, dalam dialog dengazn anak kita berikan masukan cerita tentang penting kesadaran melakukan sesuatu dengan menyuntikkan kata-kata- sugesti. Misalnya, nak..kamu tahu ngak, itu tu, tokoh.......itu dulu rajin banget membaca, akhirnya jadi orang besar" Suntikan ini nanti dapat berfungsi sebagai "pemaksa" dari dalam diri anak, sehingga anak berperilaku berdasarkan kesadarannya sendiri, "dipompa unsur pemaksa" dari dalam dirinya.
       Akhirnya, pertanyaan di atas tadi tentang mungkinkah menyuruh tanpa memaksa itu bisa dilakukan ? Jawabannya bisa pembaca buat sendiri setelah membaca tulisan ini. Lalu, bagaimana komentar anda ?